DESA Serang, Kabupaten Purbalingga, di lereng timur Gunung Slamet, dulunya daerah yang sunyi, miskin, dan tertinggal. Namun, tiga tahun terakhir, wilayah itu menjadi magnet wisata alam dan agro di Jawa Tengah bagian selatan.
Semua tak lepas dari upaya Sugito (48) mengembangkan potensi daerah sesuai kearifan lokal.
Dingin menyergap di kawasan Rest Area Lembah Asri Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah, pertengahan Desember 2016.
Di teras kantor pengelola tempat wisata berbasis desa itu, belasan anak muda sibuk membuat papan-papan petunjuk lokasi dengan sentuhan artistik.
”Saya meminta mereka menumpahkan ide kreatifnya dengan membuat papan-papan petunjuk lokasi wisata. Daripada nganggur, kalau di sini paling enggak ada makan siang,” kata Sugito, Kepala Desa Serang sekaligus penggerak Rest Area Lembah Asri, mengawali perbincangan.
Ia menceritakan, awalnya tidak mudah merangkul warga dalam kegiatan pariwisata. Ia perlu waktu hingga enam tahun untuk meyakinkan mereka. Pada akhirnya mereka tertarik juga terlibat.
Sugito lahir di Desa Serang. Ia pernah merantau dan bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang agroindustri. Hidupnya boleh dikata sudah cukup mapan.
Namun, hatinya sering gusar melihat kemiskinan membelenggu warga di desanya. Padahal, desa tersebut dianugerahi tanah subur dan keindahan alam.
Pada satu titik, ayah dua anak itu tergerak membantu warga keluar dari belenggu kemiskinan. Ia pun memilih berhenti bekerja dan pulang ke kampungnya yang terletak sekitar 7 kilometer di lereng timur puncak Gunung Slamet.
Berbekal pengalaman di tempat kerja sebelumnya, Sugito mencoba menggerakkan warga lewat pertanian. Ia memperkenalkan sistem pertanian terpadu. Ia mengajarkan cara bercocok tanam yang baik dan cara beternak kambing etawa dan kelinci.
Ia mesti mencairkan tabungan pribadinya untuk dipinjamkan sebagai modal kepada warga yang tertarik beternak dan mengembangkan pertanian.
Selanjutnya, ia mengajak warga menanam stroberi yang belakangan menjadi salah satu tanaman unggulan agrowisata di Desa Serang. Awalnya, dia membawa sejumlah bibit stroberi dari wilayah Ciwidey, Bandung, Jawa Barat.
”Saya yakin, bibit stroberi dari sana bisa ditanam di Desa Serang karena kondisi iklim dan tanahnya mirip,” katanya.
Melihat kiprah Sugito, pada 2007, ia didaulat warga untuk maju pada pemilihan kepala desa setempat. Setelah terpilih sebagai kepala desa, Sugito kian getol memperjuangkan kemajuan Serang. Dia kembangkan Serang menjadi sentra sayur-mayur di Purbalingga.
Sugito pun menjadikan Serang sebagai desa wisata. Awalnya, dia membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan mengandalkan wisata petik stroberi.
Beberapa warung makan dibangun di tepi jalan desa yang juga jalur utama menuju pos terakhir jalur pendakian Gunung Slamet dari Purbalingga.
Lurah tanpa bengkok
Awal 2010, pemerintahan Kabupaten Purbalingga menetapkan Desa Serang sebagai desa wisata pertama di daerah yang hingga pertengahan 2000-an menjadi salah satu daerah di Jawa Tengah yang paling banyak ”memasok” pembantu rumah tangga ke sejumlah daerah. Namun, perkembangan desa wisata Serang itu tidak berjalan mulus.
”Banyak konflik internal di tubuh Pokdarwis. Pengurusnya kurang profesional,” kata Sugito. Hal itu berbuntut pada penurunan pelayanan wisata.
Akhir 2010, Sugito berinisiatif membentuk badan usaha milik desa (BUMDes). Baginya, pengelolaan wisata melalui badan usaha bakal lebih profesional.
Ia mengajak sejumlah warga urunan untuk membeli beberapa wahana permainan. ”Saat itu, terkumpul Rp 50 juta. Kami beli alat flying fox dan motor ATV,” katanya.
Pada 2013, Sugito berinisiatif membuka kompleks wisata memanfaatkan tanah bengkok seluas 1,3 hektar yang semestinya berhak ia garap sendiri.
”Enggak ada gunanya kalau saya nikmati sendiri (tanah bengkok). Lebih bermanfaat jika dipakai untuk kemakmuran warga,” ujarnya.
Namun, tidak mudah bagi Sugito menggerakkan warga ikut membantu pembangunan kawasan yang kemudian dinamakan Rest Area Lembah Asri tersebut.
Sugito tidak menyerah. Dia sabar melakukan pendekatan melalui tokoh-tokoh masyarakat. Setelah ia bisa mengajukan beberapa contoh warga yang sukses dari pariwisata, perlahan pandangan warga lainnya berubah.
Akhirnya, warga secara sukarela mau menyumbang bambu dan alang-alang untuk membuat bangunan gazebo. Mereka juga membangun jalan di dalam kompleks wisata secara swadaya.
Menurut Sugito, saat itu, ada 1.000 orang lebih yang datang bergotong royong.
Sugito menekankan kemandirian dalam membangun desa. Dia menolak dua bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, yakni usaha ekonomi produktif dan simpan pinjam perempuan. Baginya, urusan utang piutang akan menimbulkan masalah.
Dia tidak ingin terjadi kasus kemacetan pelunasan simpanan yang bisa berdampak buruk pada rasa kebersamaan dan sikap gotong royong. Sikap Sugito didukung warga.
Hidupkan tradisi
Melalui BUMDes, promosi agrowisata Desa Serang dilakukan lebih masif lewat media konvensional ataupun media sosial.
Sugito juga menghidupkan lagi tradisi budaya yang dikemas menjadi paket wisata. Salah satunya perhelatan Festival Gunung Slamet yang telah digelar dua kali sejak 2015.
”Dalam festival ada prosesi pengambilan air dan perang tomat. Tradisi itu sejak dulu memang ada. Kami terpikir menghidupkan lagi sebagai daya tarik wisata.”
Agar wisatawan nyaman berkunjung, Sugito mempercantik wajah desa. Melalui program PKK, seluruh warga diwajibkan menanam sayur-mayur di pekarangan rumah. Desa pun terlihat semakin asri.
Inovasi-inovasi itu terbukti meningkatkan pendapatan desa dari sektor wisata. Jika pada 2012, pendapatan asli desa dari wisata baru sekitar Rp 7 juta, pada 2016 melonjak menjadi Rp 125 juta. Rest Area Lembah Asri tidak pernah sepi pengunjung.
BUMDes Serang kini memiliki lima unit usaha, yakni pariwisata, pertanian, peternakan, pengelolaan air, dan lembaga keuangan mikro. Warga Serang yang dulu banyak merantau menjadi pembantu rumah tangga kini hidup mandiri di desa.
Belakangan, ia kembali berinovasi dengan membuka investasi berupa penjualan saham senilai Rp 10 juta per lembar melalui BUMDes. Hasilnya, hingga akhir 2016, terkumpul Rp 600 juta dari seluruh warga Desa Serang.
Investasi itu akan dikelola untuk membangun taman labirin dan membangun wahana sepeda air, bianglala, dan sepeda udara.
Dengan penambahan sejumlah wahana wisata, Sugito menargetkan kunjungan wisatawan yang saat ini sekitar 110.000 orang per tahun bisa naik menjadi 150.000 orang. Pendapatan asli desa juga ditargetkan Rp 1 miliar pada 2018.
Kisah sukses desa yang dihuni 2.430 keluarga ini mengilhami Pemkab Purbalingga setahun terakhir giat mengembangkan desa-desa wisata lain.
Sugito kini berbangga. Perekonomian desa yang digerakkan pariwisata tumbuh tanpa mengikis kearifan lokal. Mereka membuktikan mampu hidup mandiri dengan potensi yang dianugerahkan Sang Pencipta sedari mula. (Gregorius Magnus Finesso)