Ganja kelabu jangan diburu
Ingat hari depanmu
Ganja menghancurkan jiwa raga membawa dosa-dosa
Dosa milik neraka
Jiwa raga yg kita miliki
Tuhan yang memberkati
Kesyukuran yang kita nikmati
Dijaga hati-hati
Waktu berjalan laju bersama hidupmu
Waktu berjalan laju tak pernah menunggu
Lupakan sedih sendu di dalam hatimu
Kasih dan sayang datang menjemputmu
Lewat lirik lagu GANJA KELABU, Koes Plus pada tahun 1985 sudah mengingatkan kita akan bahaya penyalahgunaan Nafza. Beberapa episode ke depan, kami akan memuat serial tulisan mengenai NAFZA, agar kita semua dapat lebih berhati-hati menghadapi bahaya yang diakibatkan oleh narkoba…
ANCAMAN PUTAUW BAGI GENERASI MUDA MENDATANG (1)
Oleh : Bambang S. Irianto, SH, M.Hum
Untuk membedakan antara morfin dan putauw, tidaklah sulit. Serbuk morfin akan segera larut kalau dicampur air hangat. Air campuran morfin dibanding benar-benar bening. Bedanya dengan putauw, air yang dicampur putauw tampak agak keruh. Efek dari putauw sendiri memang menyodok kasar : hard rock. Bagi yang belum biasa, ia sukar menikmatinya, atau bahkan muntah-muntah, atau over dosis. Masih mendingan kalau tidak kolaps atau mati.
Putauw lebih banyak digunakan di medan perang, atau untuk para pasien yang luka parah. Ia cepat menumpas kesakitan dalam waktu singkat. Sedang morfin tidak, kehalusan efeknya, sebenarnya jauh lebih mengerikan dibanding putauw. Akumulasi yang ditimbulkan morfin, ibarat tetesan air di ubun-ubun kepala, perlahan, halus pasti berakhir dengan maut.
Sejak tahun 70-an, putauw sudah beredar di Indonesia bersama morfin, budha-grass (bunga ganja dari Khatmandu dan Nepal), pethidin, decodide, delodire, hashish, LSD dan lain-lain. Cuma, ketika itu putauw dipandang sebelah mata oleh para morfinis. Namun entah mengapa 3-4 tahun terakhir, putauw memperoleh tempat di kalangan ABG (Anak Baru Gede) dan kalangan mahasiswa, yang kelas sosialnya menengah ke atas. Kelas menengah pun, kalau duitnya pas-pasan, akan segera terlibas. Eksesnya, ia harus mengadakan uang sehari minimal Rp. 30.000 (satu paketnya, antara Rp. 20.000 sampai dengan 25.000) yang belum tentu kocek orang tuanya mampu mengongkosinya. Lalu, timbullah pertama-tama kalung, gelang emas orang tuanya, video atau laser disc; mobil digadai dan kalau main ke rumah temannya, matanya dan jari-jari tangannya begitu cekatan; siap menyikat barang-barang berharga untuk berfoya-foya dengan putauw.
Zat terlarang ini, sejak 27 tahun lebih sudah dikonsumsi, meskipun dalam dosis rendah. Hal ini erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan politik bisnis. Kalau selama ini banyak pihak beranggapan, bahwa anak remaja dan pemuda stres, lalu menggunakan zat tersebut sebagai ‘pelarian’, agaknya tidak beralasan kuat, Mengapa ? Lihat saja siapa pemakainya, Mereka adalah orang-orang berpunya. Para bos zat terlarang ini, secara internasional sangat mengetahui negara-negara mana saja yang potensial sebagai marketnya. Mungkin tidak jauh beda dengan agency multinasional semisal Unilever, Procter and Gamble, General Electric atau Philips Moris serta T&T.
Ecstasy, menurut Dr. Al Bachri Husin, hanya merupakan pertanda bakal masuknya zat terlarang yang lebih berat : “ Dengan masuknya ecstasy, merupakan pertanda pembuka bahwa akan muncul begitu banyak zat terlarang. “
PERSOALAN putauw, bukan lagi masalah broken home, stress atau masa depan suram sebab pengangguran dan sempitnya lapangan pekerjaan, tetapi justru masalah keluarga yang bahagia. Akan tetapi, bagaimana ecstasy, putauw atau zat terlarang lain begitu lancar masuk ke Indonesia secara kolosal ?,
Menurut Dr. Al Bachri Husin, maraknya zat-zat terlarang tersebut tidak bisa dilepaskan dari konspirasi atau kongkalikong produsen dengan sejumlah pejabat, yang memegang kunci gerbang bagi masuk dan tidak masuknya zat-zat tersebut.
Yang jelas bagi para pemakai putauw, cenderung mengelak dari tawuran, hal yang memungkinkan mereka lewat internet dan parabola untuk menyatukan “ persepsi “ atau gaya hidup mendunia. Globalisasi makin mempertipis batas antar negara. Akibatnya, mereka tidak menutup kemungkinan, juga kita begitu gampang mengadaptasi segala sesuatu yang tengah trend di negara maju.
Memang kondisi saat ini, memang rapuh bagi kondisi Indonesia untuk masuknya zat-zat terlarang. Kondisi kelayakan mengenai negeri yang akan dimasuki zat-zat tersebut nyaris akurat. Mengapa Indonesia dijadikan pasar ecstasy dan bukan Vietnam, Myanmar atau Bangkok ?. Alasan terkuat adalah kekuatan daya beli masyarakat Indonesia sangat kuat dibanding dengan ketiga negara tersebut.
ECSTASY atau putauw, bukan lagi drug problems atau masalah peredaran zat terlarang, tetapi lebih sebagai indikasi sekian persen dampak globalisasi. Sedang bagian lain diantaranya : mode, design grafis, camera video dan sebagainya. Tidak seperti sekarang ini, pada dekade 70-80 an security approach begitu ketat. Problem keuangan untuk mengkonsumsi pun masih kembang-kempis. Seorang pengangguran, preman picisan atau pemeras tingkat Kelurahan, bisa mengkonsumsi morfin atau putauw, karena harga barang tersebut cukup murah.
Seperti harga minuman keras Vodka, Dry Gin, Mansion House dalam botol gepeng kecil. Bahkan tukang ojek, tukang palak di sekolah-sekolah, sopir mikrolet atau tukang parkir bisa mengkonsumsinya.
Pada saat ecstasy sudah memulai memudar pamornya, maka yang digunakan mulai mengarah kepada putauw atau heroin dan orang akan meningkat daya pleasure-nya. Dan ini merupakan strategi pemasaran dari produsen obat terlarang, agar mereka menggunakan heroin atau putauw. Orang tidak lama lagi melupakan ecstasy, tetapi mereka terus menggunakan heroin.
Disini heroin merupakan addictive factor yang sangat kuat sekali. Menurut sang Dokter, para pasien yang datang ke rumah sakit ketergantungan obat, atau yang langsung melakukan konsultasi privatnya, sebagian besar berasal dari keluarga yang bahagia.
Hal ini sangat menarik. Betapa tidak, sepanjang sejarah penggunaan zat dan obat-obat terlarang di masa akhir-akhir ini, selalu dikenakan dakwaan, bahwa mereka frustasi, lari dari rumah tangga yang berantakan, generasi santai, sebuah generasi yang tidak peduli dengan kondisi negara, bersikap acuh tak acuh, berkecenderungan kriminal, tukang bolos, berani menentang orang tua, getol begadang, brutal, dan seterusnya.
Tampaknya para pecandu ini “secara alamiah”, dari dalam tubuhnya sendiri akan berlangsung penolakan. Atau kalaupun sampai usia dewasa tetap menggunakannya, apakah ada jaminan bahwa mereka merupakan sebagian (atau ikut ambil bagian) menghancurkan bangsa ? Entahlah, tetapi yang jelas proses kebangkitan atau kehancuran sebuah bangsa, kata para cerdik cendikiawan bergantung kepada besar kecilnya tingkat korupsi, kolusi dan ketidakjujuran serta ketidakadilan yang dilangsungkan oleh para manajerial Pemerintahan.
Mudah-mudahan “generasi putauw” lekas insyaf. Bersamaan dengan keinsyafan penguasa untuk dapat menahan diri dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan negara maupun kepentingan masyarakat yang dipimpinnya.