Surabaya (ANTARA News) - Tiga mahasiswa yang tergabung dalam Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Alam Universitas Tujuhbelas Agustus
1945 (Untag) Surabaya atau Pataga telah menaklukkan Pegunungan Himalaya,
Nepal, dalam waktu 15 hari.
"Kami berhasil melakukan Ekspedisi Salju Abadi Mera Peak, Nepal dan
berhasil memecahkan rekor pendakian tertinggi kami, selama kurun waktu
15 hari," kata salah satu pendaki, Lanang Bumi Galuh, di Surabaya,
Senin.
Ketiga mahasiswa yang mampu mencapai puncak dengan ketinggian 6.461
mdpl yang di deretan pegunungan Himalaya, Nepal itu adalah Lanang Bumi
Galuh (25), Soleman Bomen Wenda (32) dan Ezra Dwijoyo (24).
Lanang mengatakan ada tiga tantangan yang harus dihadapi ketika
mendaki pegunungan yang membentang di enam negara di Asia tersebut. Tiga
tantangan adalah cuaca, ketinggian dan waktu pendakian.
"Suhu normal di sana mencapai minus 5 derajat, bahkan saat 600
meter menuju puncak, cuaca mencapai minus 21 derajat. Kami juga harus
beradaptasi karena oksigen yang semakin menipis seiring dengan dataran
yang semakin tinggi," kata pria asal Rungkut, Surabaya.
Menurut dia, timnya sempat merasakan "acute mountain sickness" atau
penyakit gunung, terutama pada pendakian lebih dari 2.400 meter.
Di daerah pegunungan, tekanan udara dan kadar oksigen lebih rendah
dibanding dengan dataran rendah, hal ini menyebabkan tubuh kekurangan
oksigen.
"Kami sempat merasakan mountain sickness, terasa kenyang dan tidak
ingin makan, tetapi kami paksakan untuk mengisi perut yang kosong dengan
bekal seadanya," terang mahasiswa jurusan Psikologi ini.
Lamanya pendakian, menurut dia, menjadi tantangan tersendiri,
karena selama di Indonesia mereka hanya mendaki paling lama selama tujuh
hari, namun kali ini harus menyediakan stamina lebih untuk perjalanan
selama 15 hari.
"Kesempatan mendaki ini menjadi kesempatan emas bagi kami yang
masih mahasiswa dan usia masih muda, sehingga bisa menjadi pemicu anak
bangsa lainnya. Kami dikenal sebagai mahasiswa dari Indonesia yang
pertama kali mendaki Mera Peak," jelasnya.
Sementara itu, Ezra Dwijoyo menambahkan, selama pendakian, mereka
tidak sepenuhnya menggunakan tenda, karena hingga ketinggian 5.000 mdpl
mereka masih menemukan pemukiman. Setelah hari ke delapan, mereka mulai
menggunakan tenda.
"Awalnya pendakian kami bisa diselesaikan dalam 11 hari, namun
karena badai salju, kami menunda pendakian ke puncak selama sehari. Hari
kedua di ketinggian 3.000 mdpl, kami sudah mendapati badai salju hingga
mencapai lutut kami," paparnya.
Senada dengan itu, Soleman Bomen Wenda mengalami masa paling berat
saat melakukan pendakian karena tidak hanya mengalami mountain sickness,
namun juga mengalami pusing saat tidur akibat berada di ketinggian.
"Memang ada beberapa kondisi kami ketika menghadapi ketinggian,
tetapi masih dalam batas normal, apalagi ini pendakian pertama kami,"
tuturnya.
Kesiapan mental, lanjutnya telah dilakukan seperti berlatih
pendakian di empat gunung di Jawa Timur, yakni Gunung Arjuna, Raung,
Welirang serta Gunung Semeru.
Wakil Rektor 1 Untag , Andik Matulessy, mengaku pihaknya saat ini
sedang mengajukan beasiswa bagi mahasiswa yang berhasil membawa nama
Untag hingga ranah Internasional.
"Dengan adanya beasiswa atas prestasi nonakademik, bisa menjadi
model untuk pembelajaran. Untuk kegiatan ini saja menghabiskan hingga
Rp200 juta, mungkin nanti bidang kegiatan yang lain juga bisa
dikompetisikan," tandasnya.
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2016